DEMI SEBUAH AMANAT AYAH
Oleh Siti Rosika
“menikahlah
sebelum ayah pergi untuk selama-lama nya nak”! bisik ayah secara lirih
di telingaku, ku lihat tubuhnya yang terbujur lemah. Ya ayahku sakit,
setelah kejadian beberapa hari lalu penyakit jantung ayah kambuh yang
menyebabkan tubuh tua rentannya tak berdaya. Pesan itu seolah menjadi
panah yang begitu menusuk jantungku, serasa aku memikul beban berat di
bahuku. Gadis mana yang akan aku nikahi, akankah kekasihku yang baru
memulai untuk menggapai cita-citanya mau ku nikahi. Oh rasanya tak
mungkin.Leni itulah nama kekasihku yang baru memulai pendidikannya di
universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka untuk mecapai cita-citanya
sebagai seorang ahli gizi. Ya aku harus menemui dia.
***
Aku
berdiri disini menunggunya, menunggu di sebuah taman kota tempat aku dan
dia biasa bertemu. Ku lihat dari kejauhan ia yang berjalan perlahan
namun tegas, sekarang ia tepat disampingku dengan senyumnya yang mampu
meneduhkan jiwaku. Batinku “oh tuhan, akankah gadis yang ku cintai ini
menerima lamaranku ?”. lidahku serasa kelu hanya angin sepoy sepoy yang
menemani kebisuan antara aku dan dia.”Kak ?” suara lembutnya memecahkan
keheningan. “Ya Len, Leni maukah menikah dengan kakak ?” kalimat itu tak
terduga terucap dari bibirku, ku lihat wajah cantik nya penuh
keheranan. “apa yang baru saja kaka katakan, betulkah yang aku dengar
tadi,tak tuli kah telingaku ini ?” pertanyaan bertubi-tubi terlontar
dari dia. “leni harus kamu ketahui, semua ini bukan rencana kaka, kaka
tahu pernikahan sedini ini tidak mungkin di lakukan tapi semua ini demi
ayah, leni tahu betul bukan bahwa ayah sedang sakit, kemarin ayah
berpesan kepada kaka ‘menikahlah sebelum ayah pergi untuk
selama-lamanya’.
|
Demi Sebuah Amanat Ayah |
Kaka serius melamarmu, karna kamu adalah gadis yang kaka cintai,mohon
dipikirkan kembali dan sekali lagi kaka katakan, maukah leni menikah
dengan kaka ?” tak terasa air mataku menetes di pipi yang tak mampu
bertahan di rengkuhan kantungnya. leni terdiam. Aku tahu semua ini sulit
antara cita-cita dan cinta.kemudian terdengarlah leni menjawab dengan
bergetar “jujur saja aku tak pernah mencintaimu” ia terdiam sejenak
“sehebat ini” makin terdengar isak tangisnya.”tapi aku harus memilih,
ada orang tua yang menaruh harapan padaku. Bagaimana mungkin aku menikah
di usia sedini ini, semua itu tak mungkin kak, maaf aku tak bisa
menerima lamaran kaka” leni pergi berlalu meninggalkanku, ku tahu semua
ini berat untuknya tapi apapun keputusannya aku dapat memahami.
***
Dua
hari berlalu setelah pertemuan itu keadaan ayah belum membaik, aku
berharap Tuhan menyembuhkan ayahku tak mengambil senyumnya dari
hadapanku dan ibu ku meski rasanya itu tak mungkin tapi harapan itu
masih tersimpan di dalam relung bathinku. Ibu yang selalu setia menemani
ayah tak pernah mampu berhenti menangis, yah aku tahu rasanya sakit
seolah aku pun ingin menggantikan sakitnya ayah, aku seorang calon
dokter tapi tak mampu menyembuhkan ayah. Aku rangkul ibu dan ku
ceritakan apa yang telah ku usahakan untuk memenuhi pesan dari ayah.
“ibu, leni tak menerima lamaranku” kemudian ibu menjawab masih dengan
isak tangisnya “lalu bagaimana nak ?” “entahlah bu, bagaimana jika aku
tak mampu memenuhi amanat ayah ? ku berbalik tanya kepada ibu. “temuilah
airin sahabatmu, mungkin ia mampu memecahkan masalah ini nak”
***
Rumah
mewah bercat putih itu adalah tempatku berdiri saat ini menunggu
sahabatku, aku sedang berada dirumah sahabatku sejak kecil. Dialah
tempatku mengadu, tempatku berbagi, dan semoga kali ini dia mampu
membantu menyelesaikan masalahku. Di hadapan airin aku ceritakan semua
masalahku. “apa yang harus aku lakukan fano, tidak mungkin aku mampu
mencarikanmu gadis yang mau di nikahi dengan situasi seperti ini” respon
airin kemudian.
Harapanku punah, airin pun tampak kebingungan dengan situasi seperti
ini. Terlintas di benakku mengapa tidak airin yang ku nikahi, toh
pernikahan ini hanya untuk memenuhi amanat ayahku “bagaimana jika kamu
yang ku nikahi ? tolonglah aku airin, tidak mungkin aku meminta
gadis-gadis di jalan untuk menikah denganku. Seperti katamu tidak sulit
mencari Gadis yang mau di nikahi dengan situasi seperti ini bahkan leni
kekasihku menolakku, harapanku hanya ada padamu airin” aku bersimpuh
dihadapan airin. Airin sungguh kaget mendengar ucapanku “lalu bagaimana
dengan kekasihku, 9 tahun bukanlah waktu yang singkat yang telah ku
lalui bersama dia, tak mungkin aku sanggup mengatakan padanya, tak
mungkin aku sanggup mengkhianatinya,sanggupkah kamu menghianati
sahabatmu sendiri,lalu bagaimana dengan orang tuaku sedangkan di satu
sisi akupun ingin membantumu”. Aku terus membujuk airin, aku tahu dia
sahabat terbaikku sepanjang masa, tak mungkin dia membiarkanku sendiri
dalam kesulitan ini. Ya akhirnya aku mampu meyakinkan airin bahwa
semuanya akan baik-baik saja setelah pernikahan kami berdua. Tugasku
sekarang adalah menemui kedua orangtua nya dan kekasihnya.
***
“kau
anggap apa pernikahan, sebuah permainan ? bagaimana mungkin kau mau
menikahi putri semata wayangku dengan keadaan seperti ini, akan ada
banyak pihak yang tersakiti” cercaan ayah airin kepadaku yang membahana
di ruang tamu rumah airin, aku harus menjawab dengan hati-hati, semua
ini tidak mudah demi ayahku “aku tahu om, pernikahan bukan permainan,
maafkan aku jika yang ku mintai tolong adalah putri om karena putri om
adalah sahabatku,ini semua demi amanah ayahku”. “pergi kau airin, terima
lamaran sahabatmu itu tapi jangan harap ayah mau menjadi wali di
pernikahanmu” suara ayah airin yang keras membahana seakan
mengobrak-abrik seluruh hatiku, tuhan, aku telah mengorbankan
kebahagiaan sahabatku, menyakiti hati kekasihnya, juga menyakiti hati
kekasihku leni. Hatiku miris membayangkan leni yang mungkin tiada
hentinya meratapi semua kejadian tak terduga ini.
***
Esok 11
Nopember 2011 adalah hari yang ku tentukan untuk menikahi airin dan
sekarang airin akan menemui kekasihnya di kampus tempat kami kuliah
bersama. Ku perhatikan mereka berdua dari kejauhan, sepertinya airin
menangis.
***
“Tawa denganmu beberapa hari yang lalu ternyata
hanya semerbak yang melintas tanpa menetap. Sebab dalam detik ini berita
yang kamu sampaikan meluluhkan benteng tawaku. Meluruhkannya jadi debu,
meninggalkan aku sendiri dalam tatapan nanar berbayang, tak fokus oleh
sebab mata ini terpenuhi air yang mengamuk melepaskan diri dari
rengkuhan kantungnya.” Itulah kata yang di ucapkan alif kekasih airin
saat mendengar penjelasan airin.airin tak kuasa menahan tangisnya. 9
tahun laki laki inilah yang menemaninya, yang mencintainya, yang
memahami segala kekurangannya. “oh tuhan, aku harus bagaimana, sahabat
ku membutuhkanku tapi aku tak yakin aku sanngup melewati detik-detik
itu, pernikahan dengan sahabatku, dan kekasih 9 tahunku yang di utus
ayahku untuk menjadi waliku” bathin airin.”maafkan aku,maafkan
aku,maafkan aku” airin bersimpuh di hadapan laki-laki yang teramat
sangat ia cintai. “aku mengerti sungguh aku pun memahami, sebuah amanat
yang sangat penting di jalani apalagi itu dari orang tua, pergilah
airin, berbuat baiklah, berjalanlah di jalan yang benar, ingat pesanku
lakukan semua ini karna Allah, insya Allah aku sanggup melangkah meski
hanya dengan bayangmu, semua ini membuatku belajar akan keikhlasan,
membuatku belajar apa arti kesetiaan, membuatku belajar apa arti
persahabatan, tolonglah sahabat kita itu, aku ikhlas, lebih tepatnya
belajar untuk ikhlas, ketahuilah hati ku sakit melepaskanmu setelah 9
tahun lamanya kita bersama, begitu banyak hal yang kita lewati, saat
masa cinta monyet kita saat smp dan kedewasaan yang tumbuh ketika kita
berdua duduk di bangku kuliah, airin cintaku takkan pudar, tak kan
hilang di lekang waktu, biarkan waktu berputar dengan rotasinya dan
biarkan aku sendiri” tegas alif dengan airmata bercucuran di pipinya.
Aku tahu inilah saatnya aku menemui kedua sahabatku alif dan airin,
aku memeluk alif “maafkan aku sob” itulah yang mampu aku ucapkan “aku
akan jaga airin” lanjutku.“ya jaga airin untuk aku” tegas alif sekali
lagi.
***
11 Nopember 2011, aku dan airin datang ke rumah
sakit tempat ayah di rawat. Tak ada pesta meriah, tak ada makanan khas
di acara pernikahan, tak ada pakaian khas pernikahan. Hari ini aku hanya
memakai kemeja hitam tanpa jas dan tanpa sepatu pernikahan. Airin pun
tak memakai gaun pengantin ia hanya mengenakan kaos putih panjang.
Suasana seperti ini memang bukan seperti acara pernikahan meskipun pada
kenyataannya akan melaksanakan akad nikah di hadapan ayah. Saat masuk ke
ruangan ayah seluruh keluarga besarku sudah berkumpul, hanya beberapa
dan benar – benar yang terdekat, tidak semua nya aku beritahu.
Ada alif di samping ibuku dengan mata lebamnya, alif yang di utus
menjadi wali oleh ayah airin, tak ada keluarga airin satupun yang sudi
datang ke acara pernikahan kami. Miris, sungguh miris hati ku. Aku telah
hancurkan impian airin sahabatku. Aku telah hancurkan angan-angan alif
sahabatku, aku telah kecewakan keluarga airin dengan keputusanku, aku
telah mengobrak-abrik hati leni kekasihku. Tapi, apa lagi yang mampu aku
perbuat, semua demi ayah, demi ayah.
Aku sempatkan menelpon leni sebelum acara akad nikah di mulai.
“assalamualaikum,” kata ku setelah telpon di terima “ya waalaikumsalam”
jawab leni. Aku bisa menebak dari suaranya, leni sangat terpukul,
suaranya begiti serak dan berat mungkin karena menangis semalaman,
“maafkan kakak leni, semua ini kakak lakukan demi ayah” kata ku dengan
terisak, leni diam, suara di sebrang sana hanya isak tangis. Kemudian
telpon mati mungkin karena leni sudah tak sanggup berbicara lagi. TUHAN,
aku makin merasa bersalah. Tunjukan aku petunjukmu ya Robb.
***
Penghulu
pernikahan aku dan airin sudah datang, ayah tersenyum bahagia dan aku
berusaha melesapkan kegalauan hati ku, ayah aku ingin ayah tersenyum
dalam sakit ayah. Kalimat akad nikah pun di ucapkan. Aku dan airin
mengikrarkan janji sebagai seorang suami istri, sungguh seseuatu yang
tidak pernah sedikitpun terlintas di benakku. Bagaimana perasaan alif
yang menjadi wali untuk pernikahan kekasihnya, “maafkan aku alif”
bathinku.
“Sungguh, kesalahanku kali ini adalah berada disini.
Menyetujui sesi pengabadian cinta dua insan ini, karena sang calon
mempelai laki-laki ini yang mengiba padaku kemarin sore” bathin alif
dengan penuh rasa perih. Setelah beberapa jam akhirnya acara akad nikah
selesai. Kini aku sudah sah menjadi suami dari sahabatku airin, airin
tak mampu membendung air mata nya, ia terus menangis, dan aku
mengijinkan airin pergi bersam alif untuk menyelesaikan masalah nya
dengan alif yang belum selesai, tentunya tanpa sepengetahuan ayah, aku
tak ingin ayah sedih jika ayah mengetahui bahwa pernikahan kami ini
tidak berlandaskan cinta. Keluarga besarku sudah pulang sungguh mengharu
biru acara pernikahan ku itu seisi ruangan menangis begitu juga dengan
dokter yang merawat ayah yang ikut menyaksikan pernikahan ku.
Kini hanya tinggal aku, ayah, dan ibu di ruangan itu di apit oleh
dinding-dinding rumah sakit yang seolah menjadi saksi kepedihan
keluargaku. “kemana airin nak.?” Tanya ayah dengan suara parau. Gugup
aku menjawabnya, berusaha menguras otak ku untuk menjawab pertanyaan
ayah dengan tepat. “hmm e e e airin pergi k minin market yah untuk
membeli bahan makanan untuk masak nanti sore dan makan keluarga kita.”
Jawabku masih dengan gugupku. “sungguh, menantu yang baik, pandai betul
kamu memilih calon istri” sambut ayah dengan senyumnya yang khas. “iya
ayah” tegasku.
***
Maaf, aku gagal memperjuangkan kita, airin.
Pintamu kemarin telah aku penuhi kini. Tanpa gugatan, aku menjalankan
peranku dalam pengabdian cintaku atasmu. Meski dalam relung ini jiwa
menjerit meronta "seharusnya aku yang ada dalam pernikahan itu
bersamamu, seharusnya aku yang menjabat tangan penghulu itu dan
seharusnya aku yang mengucap janji sehidup semati bersamamu, seharusnya
aku yang mencium keningmu setelah ikrar di ucapkan” kata-kata alif
seolah meruntuhkan dunia di atas kepala airin.
Airin sakit mendengarnya, airin tak mampu menghentikan air mata yang
terus mengalir deras dari mata nya. “maafkan aku alif, maafkan aku,
itupun mimpiku, yang ku inginkan kamu yang menjadi suamiku tapi aku tak
sanggup pula melihat kesedihan sahabat kita, pilihan ini sungguh berat
bagi ku, mengertilah aku alif, mengerti aku, mungkin aku memang bukan
bagian dari tulang rusukmu, aku tak mungkin mampu melupakanmu,
melepaskan bayangmu dari benakku, terimakasih alif selama 9 tahun kamu
menjaga aku, menjadi seseorang yang paling mengerti aku, menjadi sosok
yang selalu aku kagumi dan aku cintai, kini biarkanlah aku pergi dengan
sahabat ku. Ini pilihan yang berat tapi dalam hukum islam aku sudah
menjadi istrinya yang sah”. Airin bersujud di hadapan alif. “ya
pergilah” mungkin hanya dua kata itu yang mampu di ucapkan alif dan
airin pergi berlalu dengan uraian air mata di pipinya.
***
Sekembali nya airin ke rumah sakit di ruangan ayah fano dirawat
sudah tidak ada siapa-siapa. “mungkinkah ayah sudah sembuh” pikir airin
“tapi rasanya tidak mungkin karena kata dokter ayah masih kritis” lanjut
batinnya. Kemudian airin bertanya kepada suster. “sus kemana bapak yang
dirawat di ruangan ini”. “sudah meninggal mba jam 3 sore tadi, baru
saja jenazah nya di bawa pulang” jawab suster itu. “inalilahi, oh Tuhan
bagaimana dengan fano”. Airin pun bergegas ke rumah pano.
***
“airin”
kataku dan ku peluk airin sejadi-jadinya. Setelah airin tepat berada di
sebelahku dan melihat tubuh ayah sudah terbujur kaku. Air mata airin
berjatuhan di mataku mungkin airin pun bisa merasakan apa yang aku
rasakan. Hatiku begitu hancur, Tuhan telah mengambil senyum ayah dari
hadapan aku dan ibu ku. “tabah fano, ini sudah takdir Allah” airin
mencoba tenangkan hati ku. “hari ini adalah hari yang begitu berat
bagiku airin pagi nya aku menikahi kamu sahabat karibku merebutmu dari
alif sahabatku demi amanat ayah, tapi detik ini aku kehilangan ayah,
ayah benar-benar pergi setelah aku menikah” bisikku di telinga airin
mencoba mengeluarkan segala runtuhan kekacauan hatiku.
Ayah di makamkan malam ini juga, ibu tak hentinya menangis tak ubahnya
anak kecil yang kehilangan barang kesayangannya, sengaja tak ku beritahu
leni agar tak menambah air mata orang-orang yang aku kasihi. “Tuhan
begitu berat cobaanmu. setelah semua kejadian ini akankah ada
kebahagiaan untukku, akankah ada kehidupan untukku, aku tak sanggup, aku
tak mampu melihat ayah di makamkan, melihat tubuh ayah ditimbun tanah,
melihat tubuh ayah berbalutkan kain kafan, melihat air mata ibu yang tak
hentinya terjatuh. Ya Allah peluklah aku, aku tak mampu hadapi semua
ini, jika perlu ambilah nyawaku agar aku tak lagi melihat air mata yang
jatuh dari orang-orang yang ku cintai” bathinku sambil bersimpuh di
kuburan ayah.
Sendiri aku hanya ingin sendiri di sini. “Ayah mengapa ayah begitu cepat
meninggalkan fano, mengapa ayah meninggalkan fano dan ibu, tak inginkah
ayah menggendong cucu dari anak fano, maafkan fano ayah selama ini fano
tak pernah berbakti kepada ayah, maafkan fano yang belum mampu
bahagiakan ayah, seandainya fano mampu mengulang waktu fano ingin
menjadi anak ayah yang baik, fano ingin berbakti kepada ayah, bangun
ayah, bangkitlah kembali, peluk fano ayah, rangkul fano ayah, fano tak
sanggup menjaga ibu sendiri tanpa ayah, fano tak sanggup hidup di dunia
ini tanpa ayah, fano ingat ketika ayah menolong fano yang sedang di
pukuli ibu karena fano nakal, fano ingat ketika ayah pertama kalinya
membelikan fano mobil-mobilan kesukaan fano, fano ingat ketika ayah
mengajari fano main sepeda, ayah fano ingin bersama ayah, lebih baik
ayah yang menyaksikan fano meninggal daripada fano yang melihat semua
kenyataan ini. Ayah, meskipun fano telah jalankan amanat ayah rasanya
fano belum puas melihat senyum ayah, rasanya fano belum puas mendengar
nasihat-nasihat ayah. Ayah, fano ingin ayah kembali”.
Aku sadar, aku hanya berbicara dengan gundukan tanah kuburan ayah.
Hingga airin pun datang mengahmpiriku. “ayo pulang fano, ayah sudah
pergi, ikhlaskan ayah agar ayah tenang di alam sana”. Akupun beranjak
dengan kaki gontai. “ya aku harus ikhlaskan ayah, maafkan aku airin demi
amanat ayah telah aku renggut kebahagiaanmu”. “aku ikhlas” dengan
senyum airin yang dengan penuh keikhlasan. Sekarang aku harus memulai
hidupku kembali, amanat ayah tak hanya sampai dengan ke pernikahan
tetapi terlebih lagi kepada bagaimana aku menjalani hidup ini, bagaimana
menjadi diri aku yang berguna bagi orang lain, bagaimana menjadi
seseorang yang mampu mambahagiakan orang-orang di sekitarku.
“terimakasih ayah” gumamku. Aku genggam tangan airin dan aku berjanji
tak kan lagi ku buat air matanya terjatuh. Kami pun berlalu dan pergi
meninggalkan pemakaman ayah.